Bandara Polonia punya sistem pengaturan lalu lintas penerbangan baru. Buatan Bandung, murah dan canggih.
RASA takut menggelayuti pikiran Erni Tetanel. Rencananya, ibu empat anak ini akan bepergian dengan pesawat dari Jakarta ke Medan. Tapi berita kecelakaan Lion Air di Solo membuatnya berpikir dua kali. “Rasanya tidak tenang,” kata perempuan separuh baya ini. Daripada deg-degan terus, Erni akhirnya memutuskan berangkat dengan kapal laut.
Seandainya calon penumpang pesawat seperti Erni paham tentang teknologi yang dipakai Bandar Udara Polonia, Medan, ia sebenarnya tak perlu khawatir. Sejak bulan lalu, Bandara Polonia telah menggunakan sistem baru. Namanya radar data processing system (RDPS). Sistem ini bertugas mengatur lalu lintas penerbangan layaknya polisi lalu lintas di darat.
Sebelumnya, Polonia memakai sistem pengendali lalu lintas buatan 1960-an produksi Thompson, Prancis. Tapi, dengan alat itu, pusat pengendali Medan yang mencakup angkasa Riau, Sumatera Utara, Aceh, dan Singapura cuma bisa mendeteksi pesawat dengan data terbatas. Pada sistem itu, tak ada peringatan dini bahaya tabrakan pesawat dari arah berlawanan.
Pengawas udara di darat tak bisa mengindentifikasi ketika dua pesawat dari jalur berlawanan berada di ketinggian yang sama. Di layar hanya tampak posisi pesawat. Ketinggian pesawat baru diketahui ketika pilot memberikan informasi mengenai hal itu ke menara pengawas. Nah, dengan RDPS, semua informasi tadi sudah terpampang jelas di layar.
Menara pengawas pun bakal bisa meminta pesawat mengubah jalur atau ketinggian untuk menghindari tabrakan. Canggihnya lagi, sistem ini bisa menghindari pesawat bersenggolan. Jika ada dua pesawat datang dari arah yang sama dan kemungkinan bertemu pada satu titik, sistem ini langsung mengindranya, bahkan sejak jarak antarpesawat masih 10 kilometer.
Tapi jangan kaget kalau pengatur lalu lintas udara pintar ini ternyata buatan lokal. Tepatnya bikinan Divusi, divisi teknologi informasi di Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB). Dalam Bandung High Technology Valley Expo 2004, pameran peranti lunak lokal, awal bulan ini, RDPS menyedot perhatian pengunjung.
Niat mengganti sistem pengatur lalu lintas di Polonia muncul setelah kecelakaan jatuhnya pesawat Garuda di Medan, Maret 2001. Saat itu, pesawat keluar dari jalur penerbangan. Pusat pengendali Polonia tak bisa mencegah. Pasalnya, ya itu tadi, sistem yang dipakai hanya tahu posisi tanpa informasi ketinggian pesawat.
Pihak Angkasa Pura II, yang membawahkan penerbangan di wilayah barat Indonesia, ketika itu langsung berburu peralatan pengendali dari luar negeri. Salah satunya peralatan buatan Huge, Amerika Serikat. Perangkat itu dibanderol Rp 40 milyar. Beberapa perusahaan lain juga dijajaki. Tapi harganya tetap lumayan mahal.
Mereka lalu mengontak LPPM ITB. Setelah pembicaraan serius, akhirnya disepakati, Divusi akan membuat perangkat sejenis. Nilai kontraknya Rp 15 milyar. Sejak Maret 2002, Divusi sibuk dengan proyek barunya ini. Tujuh peneliti muda lulusan Jurusan Teknik Informatika ITB diserahi tugas menggarap. Mereka dibantu Departemen Penerbangan ITB.
Tim ini menyurvei Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Hasil keluaran di monitor pengendali lalu lintas pesawat dipelajari. “Kami tidak membongkar bagian dalam, tapi hanya menebak sistem kerjanya,” kata Riza Satria Perdana, Direktur Divusi. Kinerja RDPS memang sama persis dengan kinerja pusat kendali di Soekarno-Hatta.
Untuk Polonia, pengendalian dilakukan di wilayah Riau sampai Aceh. Kawasan ini dimonitor lewat empat radar Thompson tahun 1960-an di Medan, Padang Bulan (Sumatera Utara), Aceh, dan Riau. Data keempat radar jenis Head ini lalu dikirim ke Polonia untuk dianalisis. Hasil akhirnya adalah displai situasi real time angkasa di kawasan ini.
Dulu Thomson juga memasok software-nya. Tapi kini data keluaran empat radar Head tadi diolah dengan RDPS. Di layar pengawas bakal muncul data yang tertangkap radar. Seperti ketinggian, kecepatan, jenis pesawat, dan arah terbang. Juga ada fasilitas untuk mengingatkan pengendali di darat bila pesawat melanggar daerah larangan terbang, melewati batas minimum ketinggian, dan kemungkinan tabrakan antarpesawat.
Divusi juga membuatkan sistem pengendalian di sekitar bandara, yaitu sistem approch dan tower. Sistem approch digunakan untuk mengendalikan pesawat yang tengah memasuki wilayah udara bandara. Persiapan pendaratan dikendalikan melalui sistem approch. Saat akan melakukan pendaratan, sistem diambil alih tower. Di displai monitor tower tampak posisi, ketinggian, dan kecepatan pesawat.
“Jika pakai RDPS, kemungkinan besar kecelakaan di Solo bisa dihindari,” ujar Bambang Krisno Hadi, Ketua Departemen Penerbangan ITB. Saat diperkirakan terjadi over-shoot (pendaratan di tengah landasan), seperti kejadian di Solo, bakal ada peringatan dari tower. “Sistem ini bisa digunakan dalam segala cuaca,” ia menjelaskan.
Kemampuan RDPS bisa mencapai 14 radar. Artinya, bila diinginkan, sistem “cap Ganesha” ini bisa mencakup wilayah lebih luas lagi. “Dengan upgrade sedikit saja, RDPS bisa mengawasi seluruh Tanah Air,” kata Etta Erinda Enggarini, penyelia di Divusi.
Untuk keamanan, sistem RDPS ini dibuat ganda. Sistem utama dan cadangan saling mem-back up. Bila sistem utama mati, sistem cadangan langsung menggantikannya. Tampilan di monitor pun tak terganggu. Jadi, tak perlu belanja jauh ke luar negeri-lah.
Amalia K. Mala, dan Sulhan Syafi’i (Bandung)
Source: Gatra Magazine